Tuesday, November 10, 2015

Filsafat Bagi Aktivis Dakwah, Perlukah?

Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Mungkin juga agak tergantung definisi dan konsepsi, kriteria dan model, niat dan implikasi, peranan dan tanggungjawab. Tapi narasi di bawah ini mencoba meloncat tanpa mendefinisikan terlebih dahulu. Kenapa? Karena banyak di antara kita yang juga cepat mengajukan jawaban atas pertanyaan di atas tanpa melakukan pendefinisian dan pengkonsepsian dulu wink emoticon

Pertanyaannya memang bukan "wajibkah?" tapi "perlukah?" 

Anggap saja filsafat itu tidak wajib, tapi dia bisa membantu kita untuk menutupi lubang yang ada jika kita hanya membekali diri dengan ilmu2 alat islami, misalnya sebut saja yang tertinggi, ushul fiqh - yang sering kita anggap sebagai puncaknya ilmu pemikiran islami, yang kita banggakan sebagai bukti bahwa islam juga punya "ilmu pemikiran" - menghindari ungkapan ushul fiqh itu 'philosophy of law'-nya tradisi / ilmu islam (yang ditolak karena jauh-jauh hari sudah memutuskan bahwa "filsafat bukan hanya tidak islami tapi juga anti islam"). Apalagi kalau banyak polah tapi kurang bekal ilmu dasar!

Gap dari dunia fiqh kita di jaman ini sederhana saja: GAGAL SEJAK DARI TAHAP BERTANYA, yang berakibat betulnya jawaban pun adalah jawaban yang salah, karena betulnya jawaban atas pertanyaan yang salah tetap berujung pada kesalahan. Hal ini terasa terutama di level-level besar ketika menghubungkan referensi masa lalu dengan masa kini: politik, ekonomi, pendidikan, budaya, sains, literasi dst.

Ibaratnya, dalam ilmu proses kimia, salah memasukkan "raw material" yg benar dengan "kuantita" yang benar, akan gagal mendapatkan produk yang benar, meskipun "engineer"-nya sangat ahli dalam berbagai tools ilmu proses kimia, walaupun kita sangat membanggakan "pabrik/kilang kimia" yang kita punya sangat canggih dan melebihi "pabrik/kilang" milik "orang lain".

Filsafat itu memang ilmu tentang tanya, bukan ilmu tentang jawab. Memang itulah kekecewaan orang yang mengira belajar filsafat itu untuk mendapatkan jawaban yang benar, apalagi kalau orang itu berlatar belakang "ilmu pasti" yang dia kira ilmu itu "harusnya pasti-pasti saja", padahal yang dikatakan "ilmu pasti" itu juga sebetulnya tidak "pasti-pasti amat" dan memang tidak harus pasti untuk menjadi sebuah ilmu. Tapi itulah repotnya dengan pengajaran sainstek di dunia ketiga yang terlepas dari bangunan epistemologinya, yang berhenti pada aspek prosedural dan imitasi ilmu, abai pada aspek enquiry dan sintesis ilmu.

Bukankah mengira bisa terbebas dari "kesesatan filsafat" dengan mengabaikan penguasaan mendasar atasnya, tak beda dengan mereka yang inkar hadits karena alasan banyak hadits palsu, bukankah menghindari filsafat sehingga bisa terbebas dari keberagaman pendapat di dunia filsafat tak beda dengan menghindari belajar fiqh dan langsung menyimpulkan dari pembacaan atas teks sendiri karena banyaknya ragam pendapat di dunia fiqh? Bagaimana mungkin solusi dari kesesatan berpikir adalah dengan menghindari ilmu tentang berpikir?

Kalaulah kita mengandaikan jawaban atas pertanyaan "Perlukah aktivis muslim belajar filsafat" adalah "tidak perlu" (dan banyak yang mengajukan jawaban bukan hanya tidak perlu tapi juga tidak boleh alias haram jadah)....

...maka jawaban "tidak perlu" itu hanya "bisa/logis" kalau kita mengandaikan bahwa: [segala hal ikhwal tentang berpikir secara
  1. substantif, 
  2. mendalam, 
  3. menyeluruh 
  4. reflektif dan 
  5. runtut itu] 
sudah
  1. ada, embedded (terkandung) di dalam ilmu ushul fiqh - tradisi islami, 
  2. mendarah daging mentalitasnya dan dipraktikkan sebagai etika profesional di kalangan mereka yang berislam dengan penuh gairah itu, meskipun mereka tidak mempelajari tradisi filsafat dahulu (bukti ini pun harus menganggap terlebih dahulu bahwa praktek ilmu ushuluddin bercorak kalam yang ada di warisan ulama-ulama terdahulu sebagai tidak islami atau kurang "nyunni", tidak otentik, tidak representatif dan dengan demikian adalah bagian yang harus dipurifikasi!) 

Apakah kedua preposisi itu terpenuhi sehingga kita bisa memberi jawaban "tidak perlu"? 

Saya pribadi - yang merasa sebagai bagian dari tradisi ilmu-ilmu islami, tumbuh dan besar di dalamnya, berhutang budi padanya, berikrar komitmen untuk memperjuangkannya, sangat mencintai dan menghormati orang-orangnya- ....

... jujur saja saya tetap tidak bisa lari dari kesimpulan pengamatan: bahwa mentalitas itu agak kurang. Sebagian dari kita dalam jumlah yang signifikan dan representatif, setidaknya yang dinilai oleh "orang lain", terutama kita yang aktif di sosial media, justru menunjukkan mentalitas yang bukan hanya tidak kondusif untuk melatih bertanya dan berpikir secara reflektif dan mendalam, tapi juga kontra produktif untuk dakwahnya sendiri:
  • sering ribut dan jarang merenung, 
  • suka menuding keluar bukan menilik ke dalam, 
  • terlalu cepat menjawab, terlalu malas bertanya, 
  • gemar pada jargon, miskin substansi 
  • berlebihan cakap sedikit mendengar, 
  • banyak ceramah sedikit membaca, 
  • mudah curiga, sulit dialog 
  • buru-buru menilai padahal gagal meyakinkan 
  • banyak menuntut, kurang memberi. 
Mengutip kembali status saya sebelumnya, takdir ilmu itu adalah, seringkali yang paling menolak suatu ilmu ternyata adalah mereka yang justru paling memerlukannya. Kita tidak punya ilmu tentang tanya, padahal ilmu untuk mengajukan pertanyaan yang benar itu perlu, banget-banget, kalau ingin bisa mewujudkan "al islam huwal haal" atau "islam rahmatan lil 'alamin".

Sumber fb Heru Jatmiko

0 comments:

Post a Comment